Apa yang terpikirkan oleh kita ketika menyebut provinsi Sulawesi Selatan (Makasar)? Apakah tayangan televisi yang menampilkan suasana anarkis dan onar dari kerumunan demonstrasi mahasiswa? Cerita heroik tentang tentara bayaran pelaut Bugis dan Makasar yang menundukkan ombak lautan di Nusantara?[2] Ataukah tentang lezatnya semangkuk Coto Makasar? Subyektifitas saya; keduanya menampilkan koherensi sejarah tentang budaya masyarakat Sulawesi Selatan (khususnya laki-laki), yang terlihat akrab dengan aktifitas menantang bahaya. Coto Makasar pun berbahaya, setidaknya bagi penderita asam urat.
Adanya relasi antar berbagai unsur kebudayaan sebagai sebuah struktur bukanlah hal yang baru dan asing dalam ranah kajian budaya. Pada bidang tari misalnya, Joan Kealiinohomoku; seorang ahli seni tari dari pulau Samoa berpandangan bahwa, ”dance is culture and culture is dance”. Makna dalam pandangan tersebut adalah, konfigurasi estetis dalam sebuah tarian merupakan cerminan dari kehidupan sosial secara holistik, baik itu sikap hidup sehari-hari, nilai moral, etika, dikotomi gender, konsep kekuasaan dan berbagai pandangan hidup lainnya.[3]
Jika mengikuti pandangan demikian, maka, itu artinya sebuah tarian adalah bahasa yang dapat ditafsirkan maknanya dengan merujuk kebudayaan atau ruang hidup dari tarian tersebut sebagai referensinya.
Tulisan ini membahas tentang tarian Pakarena yang berasal dari Sulawesi Selatan (tapatnya kabupaten Gowa). Secara apriori, tarian ini memunculkan kesan adanya dikotomi antara sikap ideal kaum pria dan kaum wanita dalam budaya masyarakat Sulawesi Selatan. Adanya dikotomi tersebut dapat kita rasakan lewat gerakan penari wanita yang cenderung bersikap tenang, lembut, meditatif dan pasif, sementara iringan musik yang dimainkan para pria terdengar cepat, keras, atraktif dan agresif.
Tarian Pakarena
Pakarena berasal dari kata ”karena” yang dalam bahasa Gowa berarti ”main”. Sedangkan imbuhan ”pa” berarti- pelaku”. Maka penggabungan dua kata tersebut dapat dimaknai menjadi ”pemain”.[4]
Sejarah keberadaan tarian ini oleh masyarakat Gowa dihubungkan dengan mitos nenek moyang mereka. Munasih Nadjamuddin yang seorang penari Pakarena menceritakan bahwa, keberadaan Pakarena bermula dari mitos perpisahan penghuni boting langi (negeri khayangan) dengan penghuni lino (bumi). Sebelum perpisahan tersebut, boting langi mengajarkan penghuni lino mengenai tata cara hidup. Tata cara itu antara lain, bercocok tanam, beternak, berburu hingga olah gerakan tangan, badan dan kaki. Gerakan-gerakan inilah yang kemudian ditengarai menjadi sumber acuan tarian ritual Pakarena yang bagi penduduk lino merupakan bentuk rasa syukur kepada penghuni boting langi.[5]
Mungkin karena sifatnya yang sakral tersebut, Sultan Hasanuddin (Raja Gowa Ke XVI), menjadikan Pakarena sebagai salah satu tarian yang dipertunjukan di dalam istana. Walau demikian, tarian Pakarena saat ini telah menjadi bentuk kesenian rakyat yang dipertunjukan pada berbagai kesempatan.
Pakarena terdiri dari 12 bagian tarian yang kesemuannya dirajut dalam satu kesatuan pertunjukan. Namun, bukanlah hal yang mudah bagi penikmat awam untuk membedakan bagian perbagian dalam tarian ini, sebab selain durasi pertunjukannya yang panjang (sekitar 2 jam), masing-masing bagiannya disatukan oleh pola-pola gerakan yang relatif sama satu dengan lainnya.
Bagi masyarakat Gowa, tarian ini memuat berbagi makna. Misalnya: gerakan berputar searah dengan jarum jam dalam tarian ini dimaknai sebagai simbol siklus kehidupan. Gerakan naik turun tubuh si penari tak ubahnya cermin irama kehidupan. Sementara gerakan-gerakan yang cenderung meditatif, tenang dan penuh kelembutan dari para penari dimaknai sebagai sikap ideal para wanita dalam masyarakat Gowa yang menjujung tinggi kesopanan, kesetiaan, kepatuhan dan sikap hormat kepada kaum laki-laki, terutama suami.
Musik Tarian Pakarena
Musik pengiring tarian Pakarena disebut gondrong rinci, yaitu ensambel alat musik tradisional yang dimainkan oleh 7 orang pemusik. Masing-masingnya adalah: 4 orang pemain gandrang,[6] 1 orang pemain puik-puik (double reed oboe), 1 orang pemain pasrak (?) dan 1 orang pemain gong.[7]
Sebagai sebuah pengiring, sudah barang tentu gondrong rinci ini memiliki peran penting dalam tarian Pakarena. Di dalam ensambel pengiring tersebut, seorang pemain gandrang memiliki peran spesial, sebagai pimpinan iringan musiknya.
Sebagaimana telah disebutkan di paragraf sebelumnya, iringan tarian Pakarena terkesan keras, cepat, agresif dan atraktif. Keras dan cepat tersebut dalam artian- pada saat-saat tertentu, volume iringan musik terdengar sangat keras, dengan tempo cepat dan pola-pola pukulan gendrang yang dimainkan dengan pola-pola sinkopasi. Agresif dalam artian, kesan ekspresi musik yang demikian seakan berada di atas peran tarian itu sendiri. Dan atraktif dapat kita lihat pada ekspresi salah satu pemain gandrang (pemimpin iringan musik) yang menggelengkan kepalanya dalam tempo cepat.
Salah Satu Sifat Musik Nusantara
Gerakan tari Pakarena yang meditatif-pasif dan iringan musik yang agresif-atraktif menghadirkan estetika yang bersifat paradoksal. Paradoksal tentu berbeda dengan kontaradiktif, sebab dalam pengertian kontradiktif- jika satu fihak adalah benar- maka tidak untuk fihak lainnya. Sementara paradoksal memuat pengertian ada kebenaran di dalam ke dua-keduanya.[8]
Mungkin bagi masyarakat Gowa, sesuatu yang paradoksal tersebut adalah estetika yang ada dalam tarian Pakarena itu sendiri. Hal ini tentu akan berbeda jika kita melihat sifat estetika dalam tarian daerah lainnya. Sebut saja tarian Bedoyo Ketawang dalam masyarakat Jawa, tarian Kecak dalam masyarakat Bali atau tarian Zappin di wilayah Sumatra, kesemuannya menunjukan kesatuan yang harmonis antara tarian dan iringannya. Dalam artian, iringan tari tidak menghadirkan ekspresi dan makna lain selain yang melayani atau tunduk pada ekspresi dan makna yang diusung oleh tarian itu sendiri.
Melalui tarian Pakarena ini, kita dapat melihat salah satu sifat yang ada pada musik Nusantara, di mana musik tidak digunakan untuk melayani sesuatu- atau menempatkan fungsinya pada suatu yang lain di luar musik itu sendiri. Walaupun sesungguhnya antara tari dan musik itu sendiri merupakan suatu kesatuan simbolis, namun di sini, musik menghadirkan kemandiriannnya; sifat otonomnya terhadap sesuatu yang lain.
Penonjolan atau penegasan dikotomi gender dalam tarian Pakarena kemungkinan menjadi salah satu referensi kultural sebagai alasan hadirnya estetika paradoksal semacam ini. Itu artinya, posisi penari dan pengiring; gerakan tarian dan iringan musik, sejajar dengan artian wanita dan pria. Maka, jika musik melayani ekspresi gerakan tari, mungkin saja hal tersebut dapat diartikan sebagai dobrakan terhadap sistem patriarki itu sendiri.
Penafsiran tersebut berangkat dari ide mengenai konsep wanita dalam masyarakat Gowa, di mana sikap ideal seorang wanita adalah menjujung tinggi kesopanan, kesetiaan, kepatuhan dan sikap hormat kepada kaum laki-laki, terutama suami. Penafsiran demikian tentu dapat kita perdebatkan. Namun, sebagaimana pandangan yang dikatakan oleh Joan Kealiinohomoku pada awal paragraf, bahwa dance is culture and culture is dance, itu berarti sebuah tarian merupakan pandangan hidup atau cermin ideologi sebuah kelompok masyarakat yang ditransformasikan dalam gerakan-gerakan tubuh dan unsur-unsur lain yang mendukungnya.
Daftar Pustaka
Hastanto, Sri, 2005. “Musik Tradisi Nusantara: Musik-musik yang Belum Banyak Dikenal”. Deputi Bidang Seni dan Film Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata.
Magnis Suseno, Franz. 1992. Filsafat Sebagai Ilmu Kritis. Penerbit Kanisius Yogyakarta.
Sutrisno, Mudji dan Putranto, Hendar (Ed). 2005. Teori-teori Kebudayaan. Penerbit Kanisius Yogyakarta.
Referensi On-line
[1] Magnis Suseno, Franz. (1992) Filsafat Sebagai Ilmu Kritis. Penerbit Kanisius Yogyakarta. Hal. 228.
Penulis menggunakan kata ideologi di sini dalam pengertian Marxis di mana ideologi dimaknai sebagai pandangan moral, pandangan hidup dan nilai-nilai budaya.
Sebagaimana diketahui, provinsi Sulawesi Selatan saat ini merupakan wilayah kekuasaan dua kerajaan pada masa lalu, yaitu: kerjaan Gowa dan kerjaaan Bone. Kerajaan Gowa didirikan oleh wangsa suku Makasar dan kerajaan Bone didirikan oleh wangsa suku Bugis. Kendati demikian keduanya sama-sama dikenal sebagai salah satu kerajaan maritim yang terkuat di Nusantara.
[3] Lihat: Anjar Dwi Astono, Gerardus dan Ignasius Ario Soembogo dalam Sutrisno, Mudji dan Putranto, Hendar (Ed). 2005. “Fungsional Struktural” dalam Teori-teori Kebudayaan. Penerbit Kanisius Yogyakarta. Hal. 73
[6] Hastanto, Sri, 2005. “Musik Tradisi Nusantara: Musik-musik yang Belum Banyak Dikenal”. Deputi Bidang Seni dan Film Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata. Hal.110.
Gandrang/ ganrang instrumen semacam gendang yang sisi kanan dan kirinya berbeda ukuran (diameter). Sisi bagian kanan (yang diameter lebih besar) dimainkan dengan bambawa yaitu stik yang terbuat dari tanduk kerbau atau tongkat rotan yang panjangnya sekitar 30cm, sementar a sisi sebelah kiri (yang diameternya lebih kecil) dimainkan dengan telapak tangan.
[8] Sebagaimana kita tahu, tidak tepat kiranya jika dalam konteks estetika menggunakan ukuran’benar’ dan ’tidak benar’. Namun di sini penulis tetap menggunakan kata tersebut, sebagai analog dari kata enak dan tidak enak- cocok dan tidak cocok- dan lainnya yang diukur secara arbitrer.